
Oleh M. Fuad Nasar
Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama di lingkungan Kemenag
Minangkabau atau Sumatera Barat sejak dahulu kala dikenal sebagai “gudang ulama.” Kenapa disebut gudang ulama, karena ulama besar banyak lahir dari daerah ini. Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia Dr (HC) Muhammad Jusuf Kalla membandingkan dulu sangat mudah menjumpai ulama Minang di masjid-masjid di Jakarta. Di Jakarta, tahun 50-an atau 60-an, kalau ada jumatan di 10 masjid, 8 di antaranya khatibnya adalah orang Minang, ujar Ketua Umum Pimpinan Pusat
Dewan Masjid Indonesia itu.
Salah satu faktor pendukung banyak lahirnya ulama dan pemimpin dari Minangkabau ialah kuatnya tradisi pendidikan Islam berbasis Surau dan Madrasah, di samping motivasi keagamaan orang Minang sendiri yang luar biasa. Sejarah gemilang di masa lalu bukan sekadar boleh dibanggakan, tetapi dikenang untuk motivasi, inspirasi dan perbandingan atau dalam istilah Minang, membangkit batang tarandam. Perguruan Thawalib Padang Panjang merupakan salah satu sekolah modern Islam generasi pertama di Tanah Air.
Dulu bernama Sumatera Thawalib atau Thawalib School. Thawalib resmi didirikan pada 11 Mei 1911 oleh Syekh Dr. H. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka) yang berasal dari Maninjau Kabupaten Agam. Cikal bakal Thawalib adalah pengajian yang diselenggarakan di Surau Jembatan Besi Padang Panjang (kini Masjid Zuama) yang diasuh oleh Syekh Dr. H. Abdullah Ahmad, diteruskan oleh Syekh Daud Rasjidi (ayah Buya H.M.D. Datuk Palimo Kayo) dan lalu dikembangkan lebih lanjut oleh Syekh Dr. H. Abdul Karim Amrullah menjadi sekolah. Prof. Dr. Hamka dalam bukunya Ayahku, Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (1982) menggambarkan bahwa Surau Jembatan Besi waktu itu telah menjadi pusat pengajian yang besar.
Kelahiran madrasah Thawalib atau Sumatera Thawalib merupakan pembaharuan pendidikan Surau di Minangkabau dari sistem halaqah menjadi sistem klasikal dengan kurikulum yang teratur, disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Sekolah Thawalib dinaungi oleh organisasi Sumatera Thawalib yang merupakan organisasi himpunan para guru dan pelajar Thawalib.
Pada tahun 2025 ini Perguruan Thawalib Padang Panjang memperingati Milad ke-114 tahun. H. Oemar Bakry dalam autobiografi Dari Thawalib Ke Dunia Modern (1984) menceritakan, “Thawalib dan Diniyyah sumber modernisasi pelajaran agama dan dapur perjuangan kemerdekaan. Pelajaran di Thawalib berkesan sekali pada jiwa saya. Thawalib membasmi taklid buta. Memperbarui paham-paham yang salah. Mengembalikan ajaran Islam yang murni. Pelajar-pelajar Thawalib diajar berjiwa bebas bersemangat tinggi. Suasana belajar di Thawalib sungguh menggembirakan.
Kita bebas berpikir, bebas mengeluarkan pendapat dengan siapa pun. Pelajar-pelajar Thawalib tahun 1930-an sampai ribuan jumlahnya. Mereka berdatangan dari seluruh Nusantara, ada juga dari Malaysia. Kami berpakaian rapi bersarung dan berjas sama dengan pelajar Sekolah Normaal ciptaan pemerintah Belanda.” Padang Panjang di permulaan abad ke-20 tersohor sebagai kota pelajar Islam dan pusat pergerakan kemerdekaan. Thawalib yang merupakan Sekolah Islam tertua di kota Padang Panjang memiliki kontribusi besar terhadap perkembangan dakwah dan pendidikan Islam di Sumatera Barat dan Indonesia. Perguruan Thawalib, Perguruan Diniyyah Puteri dan Pesantren Muhammadiyah Kauman menjadi icon Padang Panjang Kota Serambi Makkah.
Dalam pergerakan kemerdekaan Thawalib memainkan peran politik yang cukup berpengaruh dan diperhitungkan. Kongres pertama Sumatera Thawalib tahun 1930 di Bukittinggi melahirkan gerakan politik Persatuan Muslimin Indonesia (PMI) dan selanjutnya berubah menjadi partai politik PERMI akronim dari Persatuan Muslimin Indonesia. PERMI yang berasaskan Islam dan Kebangsaan tampil sebagai kekuatan radikal dalam melancarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Setelah era kemerdekaan banyak alumni Thawalib yang mengisi tempat penting dalam pemerintahan negara dan pembangunan masyarakat.
Setelah periode Syekh Dr. H. Abdul Karim Amrullah estafet kepemimpinan Thawalib Padang Panjang dilanjutkan oleh Abdul Hamid Hakim atau akrab dipanggil Angku Mudo, berasal dari Sumpur, Kabupaten Tanah Datar. Pada tahun 1946 didirikan Yayasan Thawalib Padang Panjang diketuai oleh Abdul Hamid Hakim. Setelah wafatnya Abdul Hamid Hakim kepengurusan yayasan diperbarui tahun 1963 terdiri dari H. Mansur Daud Datuk Palimo Kayo (Ketua), Adam Sutan Tjaniago, Mawardi Muhammad, H. Kamili, H. Datuk Tumamad, dan beberapa tokoh lainnya. H.M.D Datuk Palimo Kayo dalam buku Mengenangkan Sejarah Perguruan Thawalib Padang Panjang (1970) secara khusus mengenang jasa Abdul Hamid Hakim, Pemimpin Perguruan Thawalib/Kulliyatul Ulum El Islamiyah Padang Panjang dari tahun 1926 sampai wafatnya 13 Juli 1959. Angku Mudo semenjak dari muda sampai tuanya mencurahkan seluruh tenaganya untuk agama Islam umumnya dan untuk mendidik mengasuh Thawalib khususnya.
Sistem pendidikan Thawalib menjadi role model dari gerakan Kaum Muda (gerakan reformasi Islam) di Minangkabau dan Indonesia. Pelajar Thawalib generasi awal memiliki akses untuk mempelajari khazanah pemikiran Islam dari Timur
Tengah terutama Mesir. Meski terdapat pengawasan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda, buku-buku dan majalah terbitan berkala dari negara-negara Arab bisa masuk ke Minangkabau sehingga membuka cakrawala pemikiran para pelajar Thawalib di Padang Panjang. Pemikiran Syekh Mohammad Abduh dan Tafsir Al-Manar karya muridnya Mohammad Rasyid Ridha, menjadi bacaan sehari-hari pelajar Thawalib. Transformasi dan pembaharuan sistem pendidikan Pondok Pesantren Gontor
di Ponorogo Jawa Timur tahun 1926 terinspirasi dari sistem pendidikan Thawalib Padang Panjang.
Sebagaimana diungkapkan oleh K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi dalam buku Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren (2005) bahwa Pendirian Pondok Modern Gontor terinspirasi dari gagasan modern Sumatera Thawalib dan Normaal Islam School di Sumatera Barat. Hal itu karena Imam Zarkasyi, salah satu pendiri Pondok Modern Gontor, menyelesaikan studinya di sana. Tantangan dan ujian berat pernah dialami Thawalib. Dalam masa kolonial, Thawalib digoncang prahara ideologis perpecahan internal akibat infiltrasi kaum merah (Komunis) yang berkamuflase sebagai gerakan untuk melawan penjajah dengan mengelabui umat. Setelah kemerdekaan, di masa pergolakan PRRI kegiatan belajar-mengajar terganggu bahkan bangunan sekolahnya rusak berat. Sebelum itu, Pemimpin/Ketua Thawalib Abdul Hamid Hakim berpulang ke rahmatullah tahun 1959. Thawalib mampu melewati masa-masa sulit karena kekuatan akidah tauhid dan semangat Al Quran yang mengajarkan kegigihan berikhtiar dan bertawakal. Sepanjang sejarahnya Thawalib mendidik kader-kader pemimpin dan menyiapkan para pelajar untuk tingkat universitas. Sekitar tahun 1975 Thawalib Padang Panjang membuka Fakultas Dakwah dan Publisistik, dan Fakultas Syariah dan Hukum Negara dengan Dekannya Prof. H. Zainal Abidin Ahmad. Pendidikan tinggi Thawalib tidak berkembang sesuai yang diharapkan. Maka atas sponsor H. Oemar Bakry dan kawan-kawan dari Yayasan Thawalib Jakarta didirikan Sekolah Tinggi Dakwah dan Publisistik Thawalib, semula Akademi Dakwah Thawalib. Akademi Dakwah Thawalib diresmikan oleh Wakil Presiden ke-3 Republik Indonesia H. Adam Malik tanggal 18 Agustus 1983 di Jalan Salemba Tengah 36 – 38 Jakarta Pusat. Menurut H. Oemar Bakry, Panca Dharma Thawalib Jakarta dijiwai oleh ajaran Guru Besar Thawalib almarhum Abdul Hamid Hakim ialah: Berilmu, Berijtihad, Berbakti, Mandiri dan Ikhlas.
Perguruan Thawalib Padang Panjang sepanjang sejarahnya melahirkan orang￾orang besar dalam berbagai bidang pengabdian, perjuangan dan profesi di masanya. Para alumni dan mereka pernah menuntut ilmu di Thawalib, antara lain: Buya Ahmad Rasjid Sutan Mansur (Ketua Umum Pengurus Besar Muhammadiyah periode (1953 – 1959), Prof. Dr. Hamka (ulama besar dan Ketua Umum MUI Pertama), Prof. H. Zainal Abidin Ahmad (Wakil Ketua DPR RI tahun 1956- 1959, Rektor PTIQ Jakarta), Prof. A. Hasjmy (Gubernur Aceh, Rektor IAIN Ar-Raniry), Dahlan Ibrahim (Menteri Negara Urusan Veteran), Buya Duski Samad (ulama dan politisi), Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo (Duta Besar RI untuk Irak dan Ketua Umum MUI Sumatera Barat pertama), K.H. Imam Zarkasyi (Pendiri dan Pimpinan Pondok Modern Gontor Ponorogo), Buya Salim Amany (ulama), H.S.M. Nasaruddin Latif (pejabat tinggi Kementerian Agama, Guru Besar Istimewa Pusroh Islam TNI-AD dan pendiri Badan Penasihatan Perkawinan). Tokoh lainnya, M. Zein Hassan(diplomat), Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya (Dekan Pertama PTAIN Yogyakarta), H. Oemar Bakry Datuk Tan Besar (penulis Tafsir Rahmat dan Ketua Ikatan Penerbit Indonesia/IKAPI Jaya), Marzuki Yatim (ulama dan politisi), Buya Mawardy Muhammad (Guru dan Pemimpin Thawalib), Prof. Dr. Amir Syarifuddin (Rektor IAIN Imam Bonjol Padang, Ketua Umum MUI Sumatera Barat, Anggota MPR-RI), Dr. Fauzan Misra El Muhammady (Pj. Rektor IAIN Imam Bonjol Padang, pejabat tinggi Kementerian Agama RI), Prof. Dr. Chatib Quzwain (Sekjen Kementerian Agama), Prof. Dr. Sirajuddin Zar (Rektor IAIN Imam Bonjol), H. Ghazali Amna (Anggota DPR-RI), H. Harun Yunus (ulama), H. Hasan Ahmad (ulama, adik Buya H.A. Malik Ahmad), Angku Imam Ahmad Sofyan (Direktur Thawalib), H. Abbas Oesman (Guru Thawalib), Prof. Dr. Amsal Bakhtiar (Wakil Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia), Prof. Dr. Muchlis Bahar, Lc (Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang), Prof. Dr. Abrar (Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang, Ketua Yayasan Thawalib sekarang), Prof. Dr. Efrinaldi (Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang), dan sejumlah nama lainnya. Prof. H. Zainal Abidin Ahmad yang pernah memimpin Yayasan Thawalib Padang Panjang dalam buku Memperkembang dan Mempertahankan Pendidikan Islam Di Indonesia (1976) menyatakan, mungkinkah suatu madrasah (sekolah) dapat melahirkan orang-orang besar di dalam segala lapangan? Pertanyaan ini dijawabnya: Mungkin! Menurut ulama intelektual dan pejuang tersebut, “Ia (madrasah tempo dulu, pen) bukanlah mengajarkan soal-soal teknis dan tidak memerinci tiap-tiap kepandaian atau ilmu pengetahuan menurut tiap-tiap bahagiannya. Tetapi memberikan prinsip-prinsip pegangan yang harus dimiliki oleh masing-masing pelajarnya, menanamkan jiwa besar yang dapat mendudukkan segala soal di bawah kekuasaan kemauannya yang ikhlas. Mereka yang menerima prinsip itu tersebar di dalam berbagai jabatan dan kedudukan, bermacam usaha dan pekerjaan. Pendidikan Islam yang seperti inilah yang diwarisi oleh madrasah-madrasah yang kami masuki, apakah ia bernama Thawalib, atau Diniyah, ataukah Muhammadiyah atau pesantren pesantren lainnya. Ia memberikan prinsip-prinsip penting kepada kami, prinsip-prinsip besar yang merupakan alat yang ampuh untuk menghadapi berbagai persoalan dunia ini,” tulis Z.A. Ahmad. Dalam kurun waktu 114 tahun telah jauh perjalanan yang ditempuh Thawalib dan tidak sedikit perubahan yang terjadi. Thawalib kini menyelenggarakan jenjang pendidikan mulai dari TamanKanak-Kanak, Madrasah Ibtidaiyah Swasta Unggul Terpadu (MIUT), Madrasah Tsanawiyah Swasta Putra-Putri, serta Madrasah Aliyah Swasta dan Kulliyatul Ulum El Islamiyah (KUI) Putra-Putri.
Dikutip dari Profil Perguruan Thawalib Padang Panjang, Prinsip Dasar Perguruan Thawalib adalah: Seluruh komponen Perguruan Thawalib Padang Panjang dalam melaksanakan aktivitas selalu berprinsip kepada sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Prinsip hidup serta kesadaran imani berupa tauhid yang tercermin dalam sifat Shiddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathanah sehingga terlihat dalam perilaku kehidupan sehari-hari dalam menjalani kehidupan dengan benar-benar menjadi Mukmin, Muslim, Muttaqin dan Muhsin yang paripurna. Visi Perguruan Thawalib Padang Panjang saat ini adalah unggul dalam ber-tafaqquh fi al-din. Menurut keterangan Ketua Pengurus Yayasan Thawalib Padang Panjang Prof. Dr. Abrar. M.Ag., peserta didik Thawalib Padang Panjang saat ini keseluruhan berjumlah 1.330 orang.
Pada peringatan Milad ke-114 tahun 2025 Wakil Menteri Agama RI Dr. Romo H.R. Muhammad Syafii, S.H., M.Hum hadir dan menyampaikan Orasi Ilmiah dalam Wisuda Tahfiz Perguruan Thawalib dan sekaligus peletakan batu pertama Pembangunan Masjid Mujahidin Perguruan Thawalib Padang Panjang tanggal 17 Mei 2025. Wakil Menteri Agama mengapresiasi atas komitmen Thawalib dalam mencetak generasi Qur’ani yang tidak hanya hafal Al Qur’an, tetapi juga siap menjadi pemimpin masa depan yang berakhlak mulia. Peran lembaga pendidikan Islam perlu diperkuat sebagai pusat ilmu, iman dan peradaban. Thawalib dewasa ini menghadapi tantangan dinamika zaman dan konteks sosial yang berbeda dibanding puluhan tahun lalu. Pengaruh perubahan masyarakat dan dampak kemajuan teknologi informasi telah mengubah gaya hidup, cara berpikir dan cara berkomunikasi antarmanusia, sesuatu yang tak bisa dihindari. Sarana pembelajaran, kualitas guru dan pembiayaan menjadi keniscayaan yang tak bisa dipungkiri di era yang semakin kompetitif, tanpa harus mengubah paradigma pendidikan menjadi paradigma industri.
Pendidikan bermutu yang mendorong kreativitas peserta didik dan membuat mereka passioned mengembangkan potensi diri menjadi prasyarat sebuah lembaga pendidikan legendaris tidak ditinggalkan oleh masyarakat. Hemat saya, di samping menerapkan kurikulum standar madrasah dan pondok pesantren, Thawalib perlu mempertahankan dan mengembangkan ciri khasnya dan distingsi yang menjadikan Thawalib mampu melahirkan orang-orang terbaik di masanya. Pembentukan karakter dan kepribadian guru adalah kunci keberhasilan proses pendidikan di sekolah. Penguasaan ilmu dan teknologi (iptek), termasuk penggunaan kecerdasan buatan (Artificial Inttelligent) perlu dilandasi penguatan iman-takwa (imtak) dan pengembangan nalar peserta didik. Pendidikan (education) bukan sekadar mengejar kemahiran menggunakan teknologi dan kecerdasan buatan, tapi bagaimana membentuk manusia berkarakter, berkepribadian, berakhlak mulia, mampu berdiri di atas kaki sendiri, dan memiliki kepedulian untuk menjaga lingkungan. Kalangan ahli dan praktisi pendidikan menyebut peserta didik adalah subjek dalam proses pendidikan. Peserta didik bukan objek pendidikan dan buku objek percobaan kebijakan. Seorang pensiunan Guru Besar Teknik Elektro Universitas Indonesia (UI) lulusan Doktor Sandwich Program UI – Chiba University Japan Prof. Dr. Ir. Sardy Sar, M.Eng.Sc yang bertahun-tahun mengajar mata kuliah AI mengatakan dalam suatu perbincangan bahwa kecerdasan buatan (AI) sebagai kemajuan Iptek hanyalah tools (alat belaka). AI adalah ciptaan manusia, sedangkan yang menciptakan harus lebih pintar daripada yang diciptakannya. Perlu dipahami bahwa AI tidak punya jiwa dan kemampuan untuk berinovasi. Dalam hubungan ini Al-Khaliq pasti lebih sempurna daripada makhluk, dan pemahaman ini penting dalam pendidikan akhlak.
Semoga Perguruan Thawalib Padang Panjang sukses menyelenggarakan pendidikan Islam yang berdampak dengan semangat fastabiqul khairat dalam mempersiapkan sumber daya manusia bermutu dan berakhlak untuk kemajuan Sumatera Barat dan kejayaan bangsa menuju Indonesia Emas 2045. Insya Allah.