Selamat Jalan Prof. Dr. Amir Syarifuddin. Guru Besar Hingga Akhir Perjalanan

oleh: M.Fuad Nasar

            Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin menghembuskan napas terakhir dengan tenang di kediamannya di Padang hari Rabu 27 Desember 2023/14 Jumadil Akhir 1445 H pukul 08.30 WIB. Jenazah mantan Rektor UIN Imam Bonjol Padang (dahulu IAIN) itu dishalatkan di Masjid Baitul Hikmah UIN Imam Bonjol Kampus II di Lubuk Lintah, dilanjutkan acara pelepasan untuk diberangkatkan menuju Pakan Sinayan Banuhampu Kabupaten Agam, tempat pemakaman almarhum.

          Pak Amir, lahir pada 9 Mei 1937 di Nagari Pakan Sinayan, Kecamatan Banuhampu, Kabupaten Agam. Menempuh pendidikan Sekolah Rakyat, SMP Swasta Kurai Bukittinggi, Thawalib School Padang Panjang di bawah pimpinan Angku Mudo Abdul Hamid Hakim, Pendidikan Guru Agama (PGA) di Padang, dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta. Pak Amir semasa kuliah mengalami integrasi PTAIN Yogyakarta dan ADIA Jakarta menjadi satu Institut Agama Islam Negeri Al-Jam’iah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah yang berpusat di Yogyakarta dengan cabang di Jakarta pada tahun 1960.

          Semasa hidupnya Pak Amir dikenal sebagai ulama, tokoh pendidikan Islam dan cendekiawan yang disegani. Reputasinya diakui tidak hanya di lingkungan UIN Imam Bonjol, tetapi Sumatera Barat dan Indonesia. Ia tidak sebatas intelektual kampus, namun sekaligus intelektual publik.

          Dalam kapasitas sebagai Rektor maupun Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat di masanya, Pak Amir kerap diminta pendapat dan pandangannya tentang apa yang terjadi di masyarakat. Seorang intelektual publik memang lazimnya terlibat di dalam public discourse kehidupan masyarakat.     

          Selesai mengemban amanah sebagai Rektor IAIN Imam Bonjol dan Ketua Umum MUI Provinsi, Pak Amir diminta menjadi Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI Pusat). Ia terpilih sebagai Ketua MUI Bidang Informasi dan Komunikasi yang pertama masa khidmat 2005 – 2010 dan Anggota Dewan Penasihat MUI Pusat dari tahun 2010 hingga 2015. Pak Amir juga diangkat menjadi Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) Utusan Daerah masa bakti 1992 – 1997.

          Seiring perjalanan waktu tidak mudah mengisi kekosongan yang ditinggalkannya di UIN Imam Bonjol dan Sumatera Barat khususnya. Saya kira betul sekali Rektor UIN Imam Bonjol Padang Prof. Dr. Hj. Martin Kustati dalam sambutan pelepasan jenazah almarhum mengatakan bahwa Prof. Dr. Amir Syarifuddin adalah salah satu tokoh dan guru terbaik, kita kehilangan sosok yang tidak bisa tergantikan. Shalat jenazah dan acara pelepasan sebagai penghormatan terakhir untuk almarhum dari keluarga besar UIN Imam Bonjol Padang di Masjid Baitul Hikmah dihadiri beberapa mantan Rektor yang menetap di Padang, khususnya Rektor setelah periode Pak Amir, yaitu Prof. Dr. Makmur Syarif, Prof. Dr. Asasriwarni dan Prof. Dr. Eka Putera Wirman.

Pengalaman Berinteraksi

          Saat-saat yang tidak terlupakan dalam pengalaman interaksi saya dengan Pak Amir ialah ketika menyikapi munculnya kasus kelompok Jam’iyyatul Islamiyah di Sumatera Barat yang isunya terpantau secara nasional. Tokoh Minang yang saya hubungi ialah Pak Amir yang pernah menjadi Ketua Umum MUI Sumatera Barat dan kebetulan sedang berada di Jakarta.

          Dalam pertemuan di Ciputat Pak Amir mengungkapkan informasi mengenai keberadaan kelompok sempalan tersebut dan keputusan Fatwa MUI Sumatera Barat tentang Jam’iyyatul Islamiyah yang sebagian ajarannya menyesatkan. Menurut Pak Amir, MUI Sumatera Barat mendukung SK Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat yang melarang kegiatan organisasi tersebut. Fatwa MUI diperkuat oleh keputusan Panitia Peninjau Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Kejaksaan Agung dan hasil penelitian Badan Litbang Kementerian Agama.

          Kenangan lain adalah ketika Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sekitar tahun 2008 mengadakan diskusi terbatas tentang zakat perusahaan dalam perspektif syariah dan kemaslahatan umat. Sebagai unsur pimpinan BAZNAS saya merekomendasikan Prof. Dr. Amir Syarifuddin sebagai narasumber ahli fiqih dari MUI yang berkompeten untuk membahas masalah zakat ini.

          Pak Amir hadir menyampaikan makalahnya dalam diskusi di kantor BAZNAS Jalan Kebon Sirih No 57 Jakarta Pusat. Pernyataannya dalam diskusi yang masih terngiang di telinga saya hingga kini di antaranya, ”Dalam masalah zakat ini tidak boleh kita sembarangan menetapkan hukum, karena menyangkut kehalalan untuk mengambil harta orang.”

          Saya mendapat kesan positif bahwa ulama ahli fiqih yang pernah menjadi Ketua Umum BAZIS Provinsi Sumatera Barat itu sangat teliti (meticulous) dan hati-hati (careful) dalam mengeluarkan pendapat yang akan menjadi rujukan umat. Sikap hati-hati berbeda dengan sikap kaku.

          Hemat saya Pak Amir adalah ulama yang hati-hati dalam mengupas hukum agama dan menyampaikan fatwa keagamaan. Satu ketika saya mengirim pesan SMS minta pendapat beliau mengenai suatu masalah yang sedang hangat di masyarakat, bagaimana pandangan hukum Islam?  Pak Amir menjawab, ”Akan saya pelajari lebih dulu.” 

          Bercermin dari sikap kehati-hatian Prof. Dr. Amir Syarifuddin, saya merenung kenapa kita yang punya ilmu sedikit ketika ditanya mengenai hukum agama, mudah memberikan pendapat dan ber-ijtihad tanpa dasar ilmu yang memadai. Seorang ulama dan guru besar di bidang syariah dan fiqih sekaliber Pak Amir, toh tidak gegabah (reckless) dalam menyikapi suatu masalah, terutama menyangkut hukum Islam yang memiliki dimensi pertanggungjawaban dunia dan akhirat.          

          Pak Amir adalah sosok teladan yang punya kepedulian keilmuwan dan kepedulian kemanusiaan hingga usia lanjut. Saya berjumpa kembali dengan Pak Amir sewaktu menghadiri pemakaman jenazah almarhum Prof. Dr. Nasrun Haroen bulan Mei 2015 di TPU Tunggul Hitam Padang. Ketika itu usia Pak Amir sudah 78 tahun. Takdir Allah, saya sedang berada di Padang menghadiri suatu acara di Asrama Haji Tabing dan saat itu mendapat informasi bahwa Pak Nasrun Haroen berpulang.

Menegakkan Muruah IAIN-UIN

          Setahun setelah meraih gelar doktor, Pak Amir diminta menjadi Rektor IAIN Imam Bonjol Padang menggantikan kekosongan setelah selesainya masa jabatan Rektor Drs. M. Sanusi Latif. Semula Pak Amir menolak permintaan Prof. Dr. Zakiah Daradjat (Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam) untuk menjadi Rektor IAIN Imam Bonjol.

          Ia sebenarnya tidak mengharapkan jabatan Rektor, meski sebelumnya pernah menjabat Dekan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pertimbangan subyektifnya bukan karena tidak mampu mengemban tugas, tapi sebagai akademisi ia ingin menghindari jabatan yang berurusan dengan uang dan proyek. “Jabatan Rektor itu sangat mudah untuk tergoda, karena di situ uang bisa mengalir hanya lewat tanda-tangan.” kata Pak Amir seperti dikutip oleh Riga Firdaus Asril di Harian Umum Haluan.

          Takdir Allah telah menentukan bahwa Pak Amir menjadi Rektor IAIN Imam Bonjol dan sukses mengemban amanah dalam bimbingan dan perlindungan Allah. Pak Amir dilantik sebagai Rektor oleh Menteri Agama H. Munawir Sjadzali, MA di Kampus Jalan Sudirman No 15 pada tahun 1983. Ia menjabat Rektor selama dua periode sampai 1992.  Dalam autobiografinya dapat dibaca jejak langkah Pak Amir menegakkan muruah IAIN-UIN sepanjang pengabdiannya.

Prof. Dr. Amir Syarifuddin dalam suatu acara wisuda sarjana IAIN Imam Bonjol Padang yang dihadiri Menteri Agama RI Munawir Sjadzali, MA dan Gubernur Sumatera Barat Ir. H. Azwar Anas (Sumber: Koleksi Humas IAIN Imam Bonjol Padang)

          Kepemimpinan Pak Amir berjalan dua periode. Waktu itu tidak ada calon lain yang diajukan oleh Senat sebagai calon Rektor, selain Amir Syarifuddin. Karakter kepemimpinan dan kepribadian Pak Amir yang sangat hati-hati dalam mengemban amanah, jujur, bersahaja, dan tidak ambisius mengejar jabatan, menjadikannya sosok idola di mata murid-murid dan para koleganya. Ia salah satu pimpinan yang berjasa terhadap perkembangan IAIN Imam Bonjol Padang.

          Dr. Raichul Amar dan tim penulis, dalam buku IAIN Imam Bonjol 1966-2016 Tonggak Sejarah Kebangkitan Perguruan Tinggi Islam di Sumatera Barat menceritakan langkah pertama Amir Syarifuddin setelah dilantik menjadi Rektor adalah bersilaturrahmi dengan Gubernur Sumatera Barat Azwar Anas, Rektor Universitas Andalas (Unand) dan Rektor Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP Padang).

          Silaturrahmi dengan Gubernur dipandang penting karena IAIN berada “di wilayah kekuasaan” Gubernur/Kepala Daerah. Begitu pula membangun hubungan dengan pimpinan perguruan tinggi lainnya, apalagi sesama lembaga pendidikan tinggi milik pemerintah, harus saling bekerjasama. Sementara itu insan pers baginya merupakan mitra kerja yang efektif dalam mensosialisasikan IAIN dan memajukan kampus.

          Dalam banyak hal Pak Amir menegakkan dan menjaga muruah IAIN Imam Bonjol menjadi perguruan tinggi yang diperhitungkan dan tidak dipandang orang dengan sebelah mata. Ia meneruskan cita-cita dan perjuangan para Rektor pendahulunya semenjak Rektor Pertama Prof. Dr. H. Mahmud Yunus. IAIN Imam Bonjol Padang harus bisa berdiri sama tinggi duduk sama rendah dengan semua perguruan tinggi lainnya. Setelah kepemimpinan Pak Amir, Rektor IAIN Imam Bonjol Padang terpilih Prof. Dr. Mansur Malik.

          Salah satu legacy Pak Amir sebelum mengakhiri masa jabatannya adalah peluncuran program peningkatan kualitas ilmiah bagi para dosen yang dinamakannya “Halaqah Ilmiyah” atau Studi Purna Sarjana (SPS). Program “pascasarjana” di IAIN Imam Bonjol yang digagas Pak Amir dijadikan role model di beberapa IAIN lainnya.   

          Program Studi Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang diresmikan tahun 1994 di Kampus Jalan Sudirman No 15 oleh Menteri Agama Dr. H. Tarmizi Taher. Hadir Gubernur Sumatera Barat Drs. H. Hasan Basri Durin, Kakanwil Kementerian Agama Sumatera Barat Drs. H. Fauzan MA, Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam, dan Direktur Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Prof. Dr. Harun Nasution. Pak Amir ditunjuk sebagai Direktur Pelaksana Program Studi Pascasarjana yang kala itu berafiliasi dengan Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

          Sewaktu transformasi IAIN menjadi UIN Imam Bonjol, konon beliau sebagai sesepuh IAIN sangat serius menekankan bahwa perubahan IAIN menjadi UIN tidak boleh mengakibatkan fakultas dan jurusan ilmu-ilmu keislaman mengalami kemunduran dan penurunan minat mahasiswa. Pesan dan amanat Pak Amir insya allah tetap dipegang oleh seluruh unsur pimpinan UIN Imam Bonjol Padang sampai sekarang.

          Saya mendengar dari kalangan dosen UIN Imam Bonjol Padang, salah satu yang berkesan bagi mereka tentang kepemimpinan Pak Amir adalah kepribadian baiknya dan sikap ilmiah yang dilandasi ketajaman dan ketenangan berpikir. Dalam pembinaan pengabdian kepada masyarakat melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Mahasiswa, ia sebagai Rektor mengunjungi lokasi KKN IAIN Imam Bonjol ke nagari-nagari di Sumatera Barat.

Ketua Umum MUI Sumbar

          Salah satu episode pengabdian Pak Amir sebelum akhir masa jabatan Rektor, ia diamanahi sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat masa bakti 1995 – 2000. Satu ketika Pak Amir bertemu dengan Gubernur Sumatera Barat Drs. H. Hasan Basri Durin di kantor gubernur. Gubernur meminta kesediaan beliau menjadi Ketua Umum MUI Provinsi. Pak Amir menolak secara halus tawaran itu. “Saya khawatir akan menghadapi kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan sikap saya, Pak Gubernur.” ucapnya. Ia membayangkan situasi dilematis yang pernah dihadapi Buya Hamka sebagai Ketua Umum MUI Pusat berkenaan dengan kebijakan pemerintah waktu itu hingga Buya Hamka meletakkan jabatannya. Hasan Basri Durin memaklumi kekhawatiran Pak Amir. Gubernur menjawab, “Itu kan keadaan waktu dulu. Sekarang tidak begitu lagi, Pak Amir.”

          Dalam Musyawarah Daerah MUI Sumatera Barat, Pak Amir secara pribadi ataupun sebagai Rektor tidak menerima undangan menghadiri Musda MUI. Selesai shalat Isya hari terakhir Musda, ia ditelpon oleh Sekwilda Provinsi Sumatera Barat Drs. H. Sjoerkarni yang hadir di Musda MUI selaku utusan Pemerintah Daerah. “Pak Amir, Anda terpilih untuk menjadi Ketua Umum MUI, malam ini juga Anda akan dilantik.” ujar Sjoerkani melalui tilpon. Pak Amir tidak bisa mengelak.

          Saat pidato pengukuhan sebagai Ketua Umum MUI Provinsi Sumatera Barat, ia menyampaikan, “Walaupun saya tidak mengharapkan jabatan ini, namun karena sudah dipilih oleh musyawarah, saya terima jabatan ini. Saya tidak berjanji apa-apa dalam jabatan saya nantinya. Saya hanya akan berusaha berbuat sebaik mungkin”.

          Dalam bidang keilmuwan, Pak Amir berkompeten di bidang Fiqih dan Ushul Fiqih. Ia menguasai Fiqhud Dakwah sehingga paham mana yang pokok (ushul) dan mana yang ranting (furu’) dalam masalah agama. Ia tidak mencampur-adukkan dalil dengan interpretasi menyangkut hukum agama.  Pak Amir menjadi Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah periode 2005 – 2010.

          Sebagai ulama yang memiliki kapasitas mubaligh, ia tidak pernah membangkit-bangkitkan soal-soal khilafiyah yang dapat memecah-belah persatuan umat. Hemat saya, ketenangan berpikir dan kearifan Pak Amir dalam membaca fenomena sosial dan menyikapi berbagai isu keumatan dari sudut pandang Islam patut diteladani oleh ulama dan mubaligh yang muda-muda.   

Guru Besar Hingga Akhir Perjalanan

        Dalam disertasi Prof. Dr. Isnawati Rais di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan dengan judul Pemikiran Fikih Abdul Hamid Hakim (Ditjen BIPH Depag, 2005), nama Amir Syarifuddin dicantumkan dalam daftar murid-murid Abdul Hamid Hakim (Angku Mudo) sederetan dengan A.R. Sutan Mansur, Hamka, Zainal Abidin Ahmad, H.M.D. Datuk Palimo Kayo, Duski Samad, H.S.M. Nasaruddin Latif, Mawardi Muhammad, A. Hasjmy, Rasuna Said, Rahmah El Yunusiyyah, Salim Amany, Mukhtar Yahya, Imam Zarkasyi, H.M. Chatib Quzwain, Fauzan MA, Ghazali Amna, Harun Yunus, Hasan Ahmad, Engku Imam Ahmad Sofyan, dan Abbas Usman.

          Perjalanan karier Pak Amir dimulai dari Asisten Dosen IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yakni asisten dari Prof. Dr. Toha Yahya Omar. Tamat doktoral (Sarjana Lengkap) tahun 1964. Pada tahun 1968 mengikuti pendidikan non-degree di Belanda pada Universitas Leiden dengan fasilitas tugas belajar dari Kementerian Agama. Ia pernah menjabat Wakil Dekan Fakultas Tarbiyah dan Dekan Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mengikuti Sekolah Staf Pimpinan Administrasi (SESPA) Kementerian Agama sebagai persyaratan jabatan Eselon 1 (satu).

          Pak Amir menamatkan pendidikan Doctor by Research dengan judul disertasi “Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau”. Pembimbingnya Dr. H. Anwar Harjono, SH dan Prof. Dr. Harun Nasution. Ia merupakan doktor kedua yang dihasilkan Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1982 setelah Dr. Aminuddin Rasyad. Ia fokus banyak belajar dan mengajar dalam puluhan tahun pengabdiannya di dunia ilmu pengetahuan.

          Disertasi hasil penelitian Pak Amir tentang hukum kewarisan Islam dalam lingkungan adat Minangkabau diterbitkan oleh PT. Gunung Agung Jakarta (1984) dan memperoleh penghargaan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai buku terbaik di bidang ilmu sosial. Menurut Dr. Shofwan Karim, disertasi Pak Amir merupakan riset paling akurat karena bukan hanya dilakukan dengan studi kasus di Minangkabau dan Indonesia, juga studi literatur langsung di Leiden University, Belanda.

          Buku Pak Amir yang diterbitkan kebanyakan mengenai fikih atau hukum Islam sebagai buku teks perguruan tinggi, seperti: Ushul Fiqh (2 jilid), Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Hukum Kewarisan Islam, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer Di Indonesia. Ia juga menulis autobiografi 75 Tahun Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin: Qana’ah.

          Shofwan Karim dalam artikel “Obituari Amir Syarifuddin: Ahli Hukum Kewarisan Islam Minangkabau Itu Telah Berpulang” (Harian Umum Singgalang, 28 Desember 2023) mengenang sosok Pak Amir sebagai figur yang bijaksana di dalam memutuskan hal-hal yang prinsipil untuk lembaganya, juga politisi handal (Anggota MPR-RI Utusan Daerah, pen). Dan kalau rapat, berunding atau bertemu dengan para kolega hanya membicarakan pokok persoalan dan beliau tak pernah tergoda dengan rayuan duniawi.

          Lanjut Shofwan Karim, “Sangat terkesan ketika pada masa lalu ada nuansa terjadi kompetisi tersembunyi antara pengikut ormas tertentu di lembaga yang dipimpinnya, almarhum Prof. Amir begitu piawai mengendalikan diri dan bawahannya serta koordinasi ke samping, ke atas, dan ke bawah. Dengan begitu, tak ada kesan beliau pro kekuatan tertentu apalagi ormas tertentu. Kendali manajemen dan spektrum kepemimpinannya diakui adil-berimbang dan memberikan semangat kreativitas tinggi kepada dosen, mahasiswa dan karyawan. Pada masa kepemimpinan Prof. Amir di IAIN Imam Bonjol dianggap berbagai pihak beliau sukses. Lalu setelah itu beliau terpilih aklamasi menjadi Ketua MUI Sumbar.”

          Salah satu cerita yang mengandung human interest pada sosok Pak Amir yang tidak dapat dilupakan oleh para muridnya antara lain dari penuturan Drs. H. Tulus, mantan Direktur Penyelenggaraan Haji, Pengembangan Zakat dan Wakaf, dan terakhir Staf Ahli Menteri Agama.

          Setelah menyelesaikan Sarjana Muda di IAIN Syarif Hidayatullah, Pak Tulus berencana mau pulang mengabdi membangun di kampung saja karena mengalami kendala biaya untuk melanjutkan ke jenjang doktoral (Sarjana Lengkap). Pak Amir tidak mau kalau ada mahasiswanya tidak bisa melanjutkan kuliah karena kendala biaya. Ia mendaftarkan Pak Tulus menjadi  Asisten Dosen, sehingga tiap bulan memperoleh gaji yang cukup untuk bayar uang kuliah. Putra Banyumas itu tidak jadi pulang kampung dan lanjut ke program Sarjana Lengkap. “Alhamdulillah. Itu jasa beliau yang tidak akan saya lupakan. Beliau adalah bukan sekadar guru/dosen saya, tetapi pembimbing yang sejati.” kenang Pak Tulus.” 

          Pak Amir sangat toleran dan sering turun tangan membantu mengupayakan solusi yang memungkinkan dalam koridor aturan untuk mahasiswa yang terkendala biaya. Selain itu, ia pun tidak segan-segan menegur mahasiswa S3 yang mendapat fasilitas tugas belajar tapi tidak kunjung tamat karena kurang fokus menyelesaikan penelitian dan disertasi.

            Dalam reputasi sebagai ulama pendidik, pemikir Islam, tokoh masyarakat hingga ke level kenegaraan, tidaklah mudah mencari penerusnya dalam  kualitas yang sama. Pak Amir dikenang sebagai guru sejati bagi banyak orang dan sosok cendekiawan yang belum tergantikan bagi UIN Imam Bonjol Padang hingga kini.        

          Kompetensi keilmuwannya dalam bidang ushul fiqih dan fiqih meneruskan keilmuwan guru yang dikaguminya yaitu Angku Mudo Abdul Hamid Hakim (Pimpinan dan Guru Besar Thawalib Padang Panjang) dan dosen senior Prof. Dr. Toha Yahya Omar (Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Selain kiprah di dalam negeri, ia menjadi profesor pelawat (guru besar tamu) pada Fakultas Pengkajian Islam Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM).

          Pak Amir pensiun sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) tahun 2007 pada saat usianya genap 70 tahun, dengan  pangkat/golongan tertinggi dan gelar guru besar. Meski telah purnabakti sebagai dosen negeri, ilmu dan panggilan jiwa pengabdiannya tetap dibutuhkan oleh UIN Imam Bonjol Padang. Ia masih mengajar dan membimbing mahasiswa di Fakultas Syariah dan Pascasarjana selagi kesehatannya memungkinkan. Ilmunya dibutuhkan oleh perguruan tinggi tempatnya mengabdi. Pak Amir adalah guru besar hingga akhir perjalanan.

          Dalam rangka mensyukuri 75 Tahun Prof. Dr. Amir Syarifuddin, sejumlah muridnya yang dikoordinir oleh Prof. Dr. M. Atho Mudzhar dkk menerbitkan buku kenang-kenangan tentang Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin Legenda Hidup (IAIN-IB Press Padang, 2012). Sebuah kehormatan bagi saya diberi kesempatan sebagai penyumbang tulisan testimoni pada buku tersebut.

          Saya mendengar cerita Ibu Amir, tatkala kesehatan Pak Amir sudah tidak memungkinkan untuk mengajar di kampus, ia masih bersedia menerima mahasiswa untuk bimbingan tesis atau disertasi di rumah. Dalam masa pendemi Covid-19 tahun 2020 – 2021, beliau masih sempat mengajar secara online melalui perangkat zoom meeting. Kegiatan mengajar tidak bisa berlanjut disebabkan kendala kesehatannya yang menurun karena faktor usia.

          “Siapa yang mengembangkan kini…” (Bahasa Minang: Sia nan mengembangkan kini), demikian respons singkat Pak Amir ketika saya menyebut buku karya monumentalnya Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau sewaktu saya silaturahmi kepada beliau beberapa bulan yang lampau.

         Kepergian beliau menghadap Allah Azza Wajalla meninggalkan keluarga, murid-murid intelektual dan buku-buku karya tulisnya sebagai khazanah ilmu yang terbuka untuk dipelajari. Insya Allah menjadi ladang amal shaleh baginya di akhirat dan inspirasi bagi generasi penerus. Kecendekiaan, kepemimpinan, integritas dan kebersahajaannya patut diteladani.

          Selamat Jalan Profesor Amir Syarifuddin.

Penulis adalah Pengurus Pusat Dakwah dan Perbaikan Akhlak Bangsa (PDPAB) MUI Pusat masa bakti 2020 – 2025.

About Author