BENCHMARKING UIN IMAM BONJOL KE UIN AR-RANIRY, Banda Aceh 15-17 Mei 2024

Oleh: Efrinaldi

The integration of knowledge (integrasi Ilmu) sebagai paradigma baru dlm pengembangan ilmu pada UIN.
Integrasi Ilmu merupakan paradigma baru yang menjadi konsep atau model pengembangan keilmuan dalam sebuah pendidikan di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). UIN telah membawa konsep integrasi ilmu ini. Walupun secara model dan konsep pengembangan ilmu berbeda-beda, namun secara subtansi tetap pada paradigma yang sama.
Awal mula gagasan integrasi ilmu ini dikemukakan oleh Muhammad Iqbal pada tahun 30-an. Menurut Iqbal bahwa “ilmu pengetahuan modern harus dikonversikan”, sebab ilmu yang dikembangkan oleh barat itu bersifat eteistik, sekuler sehingga hal tersebut dianggap akan mempengaruhi aqidah tauhid umat Islam. Namun Iqbal tidak melakukan tindak lanjut mengenai konsep Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer tersebut.
Selanjutnya, Integrasi ilmu atau Islamisasi ilmu pengetahuan dibawa kembali oleh cendekiawan muslim yaitu Syeed Hossein Nasr (SHN). SHN mengungkapkan gagasannya mengenai konsep sains Islam yang terdapat pada karyanya “Science and Civilizationin Islam (1968) dan Islamic Science (1976)”. Dilajutkan lagi Islamisasi ilmu diperkenalkan ke dunia pada sebuah konferensi mengenai Pendidikan Islam yang pertama kali diselenggarakan di Makkah pada tahun 1977, yang mana pertemuan tersebut atas tindak lanjut mengenai proyek Islamisai ilmu. Dalam pertemuan tersebut Islamisasi Ilmu menjadi daya tarik dan perbincangan dunia Islam.
Kala itu gagasan mengenai Islamisasi dikembangkan dan dikupas oleh Syeed Muhammad Naquib Al-Attas, dengan mengusung pentingnya Islamisasi pendidikan, islamisasi sains dan islamisasi ilmu. Serta para tokoh cendekiawan muslim lainya seperti Ismail Raji Al-Faruqi, Ziauddin Sardar juga ikut serta memformulasikan mengenai Islamisasi Ilmu tersebut.

Pada tahun 1978 Indonesia menyambut hasil dari kesepakatan pertemuan yang diadakan di Makkah tersebut untuk mengangkat mengenai islamisasi ilmu. Lantas menteri agama mengambil langkah untuk mengimplementasikan rekomendasi islamisasi ilmu pada pendidikan dengan membuat kurikulum baru yaitu memasukkan ajaran agama Islam di lembaga pendidikan mulai dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi. Namun di sisi lain wewenang atas pendidikan ialah ranah dari menteri pendidikan dan kebudayaan. Sehingga pada tahun 1980 muncul kesepakatan baru antara menteri agama dengan menteri pendidikan dan kebudayaan bahwa agama masuk di dalam kurikulum pada semua jenjang pendidikan.
Namun anggapan di tengah masyarakat mengenai agama dan ilmu pengetahuan (ilmu umum) itu merupakan wilayah yang berbeda. Hal ini terlihat bahwa pandangan masyarakat mengenai madrasah dengan sekolah adalah sebuah jalur yang tak searah, madrasah ialah tempat untuk menimba ilmu agama dan sekolah untuk menimba ilmu umum. Ilmu umum hanyalah berbicara mengenai keduniawian yang bersifat materil, sedangkan agama lebih mengarah kepada akhirat. Dikotomi ini menyebabkan pemahaman yang sekuler mengenai ilmu dan agama. Begitu juga kedua hal tersebut mempunyai wilayah yang berbeda, baik dari segi pembahasan ilmu, objek keilmuan, tujuan, kebenaran, teori bahkan sampai pada institusi penyelenggara pendidikan tersebut.
Pemerintah tidak hanya memasukan pelajaran ke kurikulum saja, namun pemerintah pula membuat kebijakan atas peralihan status di Perguruan Tinggi Keislaman (PTKI) yang berada di bawah Kementrian Agama untuk bertransformasi ke Universitas Islam. Dengan adanya integralistik antara agama dan ilmu pengetahuan, maka UIN dapat membuka program studi baru yaitu ilmu eksakta dan ilmu-ilmu humaniora seperti yang ada pada Perguruan Tinggi Umum (PTU).

Akhirnya Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) untuk bertransformasi ke Universitas harus memformulasikan sebuah model pengembangan integrasi ilmu dengan konsep epistemologi keilmuan. Sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa Universitas Islam Negeri (UIN) yang ada di Indonesia, kali ini benchmarking pada UIN Ar-Raniry. Perlu sebuah konsep yang matang untuk memformulasikan keilmuan-keilmuan agar bisa menjadi sebuah keilmuan yang relevan untuk peradaban saat ini. Tentunya untuk itu semua harus menentukan ontologi, epistemologi, dan aksiologi melalui konsep atau model pengembangan keilmuan agar mendapatkan sebuah kebenaran ilmiah yang mempunyai nilai. Sebab, sebuah keilmuan dalam agama saat ini kurang relevan lagi jika hanya menggunakan pendekatan dogmatif-normatif saja, atau juga hanya dengan pendekatan sosio-historis. Namun keilmuan Islam juga harus bersifat rasional-filosofis dan juga aktif-progresif.
Banda Aceh, 16 Mei 2024.

About Author