GUGAHAN SERAMBI MEKAH (1)

Oleh: Duski Samad
Ketua Senat UIN Imam Bonjol.
Refleksi Benchmarking Senat UIN Imam Bonjol ke UIN Ar Raniry Banda Aceh 15-18 Mei 2024.

Setelah lima tahun penulis tidak datang ke Banda Aceh, terakhir Januari 2019 dalam kegiatan pertemuan Professor se Indonesia di UNSYIAH Banda Aceh, hari ini selaku Ketua Senat UIN Imam Bonjol bersama Rektor dan tim melakukan benchmarking ke UIN Aceh 15-18 Mei 2024. Tulisan pertama ini ingin menyampaikan gugahan yang terasa begitu mendaratnya pesawat Garuda dari Jakarta pada pukul 14.55 hari Rabu, 15 Mei 2024. Gugahan ini atas dasar pandangan personal dan hasil interaksi sejak pukul 15.00 sampai selesai pukul 21.30 setelah makan malam bersama Rektor UIN Ar Raniry.

KUBAH BANDARA
Kubah bandara Sultan Iskandar muda yang kelihatan menjulang tinggi terasa membawa nuansa Serambi Mekahnya Provinsi Aceh. Memang kubah itu tidak semata-mata arsitektur keislaman saja, sepertinya di Kota Putra Jaya Malaysia bangunan gedung Perdana Menteri, Kantor Perlemen dan kantor Kementerian bercorak kubah Spanyol. Namun, bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Minangkabau yang mayoritas muslim, kubah adalah jenis bangunan masjid.

SALAM ANOUNCER BANDARA
Pembukaan dan penutupan dengan Assalamualaikum dari pengumuman yang disampaikan anoncer bandara Sultan Iskandar Muda jelas terasa aura keislaman yang menjadi kebiasaan dalam sistim sosial masyarakat Aceh. Pengalaman penulis berpergian di bandara-bandara Indonesia memang hanya Aceh yang dengan jelas dan berulang kali bacaan Assalamualaikum diucapakan petugas bandara. Bahkan saat ini dikegiatan nasional terasa ganjil, pembukaan salam mengunakan salam enam agama resmi, walau kadang acara itu diikuti satu agama saja.

MOORDEN CAFE
Nama Moorden cafe menjadi gugahan tersendiri ketika Rektor UIN Aceh menjamu kami minum kopi sore itu disana dan menjelaskan bahwa nama Moorden itu bahasa Belanda artinya racun berbisa untuk membunuh. Dalam perbincangan makan malam diperkuat oleh Rektor bahwa sebutan Moorden oleh Belanda terhadap Aceh, karena begitu takutnya penjajah Belanda terhadap masyarakat Aceh. Pengalaman buruk dan jatuhnya korban tentera Belanda ini benar-benar menakutkan Belanda.

Informasi dari artifisial intelektual menyatakan bahwa Belanda menyebut Aceh sebagai “Ongebruikelijke keuze voor een moord” karena Aceh terkenal dengan hukuman mati yang diberlakukan secara ketat terhadap pelaku kejahatan, termasuk kasus-kasus pembunuhan. Hukuman mati di Aceh seringkali dilaksanakan dengan cara yang tidak lazim, seperti hukuman cambuk atau hukuman lain yang dianggap tidak biasa oleh standar internasional. Oleh karena itu, Belanda mungkin menganggap kebijakan hukuman di Aceh sebagai pilihan yang tidak lazim atau tidak konvensional dalam menangani kasus-kasus kejahatan, termasuk kasus pembunuhan.

CONECTING RRI DAN RADIO SWASTA
Shalat maghrib di Masjid Raya Baiturrahmah Banda Aceh mengugah hati dan perasaan terasa di Madinah Munawawarah bagunan masjid dan payung besar, parkir di lantai dasar, tempat berwuduk dan patut diambil pengalaman baiknya adalah tersambungnya ceramah Maghrib dengan RRI dan Radio swasta di Kota Banda Aceh. Prof. Maizuddin Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Ar Raniry yang dulu bertugas di UIN Imam Bonjol saat mengantarkan kami shalat Maghrib di Masjid Baiturrahman menunjukkan pembangunan fisik dan perawatan masjid yang ditanggung Pemerintah Daerah.

BATU NISAN DAN MANUSKRIP
Rektor UIN Aceh menyampaikan bukti yang tersisa bahwa Aceh memiliki sejarah gemilang dan pusat kekuasaan Islam di Nusantara adalah batu nisan pahlawan, pejuang, raja-raja Aceh, dan juga kuburan Belanda yang jumlah Jenderalnya banyak berkubur di Aceh ini. Satu lagi adanya manuskrip sebagai fakta sejarah yang sangat berkesan di dunia ilmu pengetahuan, walau manuskrip Aceh masih banyak di Leiden Belanda.

Mengapa lenyapnya bukti fisik kebesaran Aceh masa lalu, karena ada perbedaan mendasar antara perjuangan Raja-raja di Aceh dengan Raja di Pulau Jawa dan daerah lainnya. Perbedaan itu adalah berkenaan hubungan Raja dengan Belanda. Raja di pulau Jawa bersahabat dengan Belanda, maka bangunan kerajaan masih ada, sedangkan di Aceh, Rajanya bermusuhan dengan Belanda, maka bukti fisik kerajaan tidak ada. Kecuali manuskrip di Aceh ada tiga jenis, yaitu manuskrip Arab, Arab Jawi dan Aceh Jawi.

Terima kasih atas jamuan kopi Aceh saat baru mendarat dan makan malam yang disuguhi Rektor UIN Ar Raniry adalah faktor pengugah yang tentu akan membawa kebaikan yang lebih luas untuk semua. Sekali lagi, terima Bapak Rektor Aceh atas sambutan hangatnya. 22.30@Room606 ayanihotel 15052024

About Author