Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi dan Masjid Raya Sumatera Barat

Foto sketsa wajah Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi (Sumber: Buku Syekh Ahmad Khatib karya Akhria Nazwar).

Oleh M. Fuad Nasar
Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama Kemenag RI / UIN Imam Bonjol Padang

Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi rahimahullah adalah ulama besar asal Minangkabau di permulaan XX dan merupakan satu-satunya orang Minang yang pernah menjadi Imam Besar dan Khatib di Masjidil Haram Makkah Al Mukarramah. Syekh Ahmad Khatib memiliki andil yang besar dalam kaderisasi ulama Minangkabau dan Indonesia di masa lampau. Dalam novel biografi karya Khairul Jasmi yang diluncurkan belum lama ini, Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi dijuluki sebagai “Guru Para Ulama Indonesia”.

Penulis bersama Yahya Alkhateeb dan  Abubakar Alkhateeb, keturunan generasi ke-5 dan ke-4 dari Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang berdomisili di Arab Saudi.

Mengutip keterangan dalam Ensiklopedia Tokoh 1001 Orang Minang (Tim Redaksi: Hasril Chaniago dkk, 2023), Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi adalah ulama besar yang pernah mencapai kedudukan tertinggi sebagai Imam Besar Masjidil Haram di Makkah, Saudi Arabia. Haji Agus Salim dalam suatu seminar di Cornel University (4 Maret 1953) menyebut Syekh Ahmad Khatib adalah ulama yang anti-penjajahan Belanda. Ia berpendapat bahwa berperang melawan penjajah adalah jihad di jalan Allah.

Sikap dan kesadaran anti-penjajahan selalu digelorakan oleh Syekh Ahmad Khatib kepada murid-muridnya di Makkah, yang umumnya datang dari Indonesia, sehingga, murid dan pengikut Syekh Ahmad Khatib ini banyak yang menjadi pelopor gerakan pembaharuan agama sekaligus sebagai tokoh-tokoh perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di Indonesia. Walaupun hidup jauh di rantau dan tak pernah pulang, hubungannya dengan Minangkabau tetap berjalan baik melalui orang-orang yang menunaikan ibadah haji maupun yang datang belajar kepadanya. 

Dalam sitasi buku Ayahku Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama Di Sumatera (Prof. Dr. Hamka, Umminda, 1982) diungkapkan, menilik keturunan Syekh Ahmad Khatib dari pihak ayah dan ibunya nyata bahwa dalam dirinya mengalir darah pejuang agama. Hamka mencatat, Syekh Ahmad Khatib lahir di Koto Gadang, Luhak Agam pada 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi).  Ketika berusia 11 tahun, dia dibawa oleh ayahnya untuk belajar ke Makkah. Hanya sekali dia pulang ke Indonesia  untuk beberapa bulan saja. Dia mendapat kedudukan yang tinggi dalam masyarakat Makkah. Menurut garis keturunan ibu, Syekh Ahmad Khatib berasal dari Koto Tuo Balai Gurah, Kecamatan IV Angkat Canduang, Agam, sedangkan ayahnya adalah Khatib Nagari berasal dari Koto Gadang, Agam, Bukittinggi.

Syekh Ahmad Khatib merupakan Imam pertama dari orang non-Arab di Masjidil Haram Makkah, sebuah jabatan dan kemuliaan yang tidak mudah diperoleh. Kecerdasan Syekh Ahmad Khatib dalam memahami ilmu dengan mudah dan pandai mengajarkan kepada murid-muridnya, merupakan salah satu berkah setelah dia bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad Saw. Dalam mimpi, Rasulullah menyuruh Ahmad Khatib membuka mulut dan menghembuskan air ke dalamnya.

Keahlian Syekh Ahmad Khatib sebagai ulama adalah di bidang Ilmu Fiqih (hukum Islam), Ilmu Falak, Ilmu Hisab, dan Ilmu Aljabar. Sementara itu ilmu geografi dan astronomi dipelajarinya secara autodidak melalui buku-buku bacaan. Mazhab fiqih Syekh Ahmad Khatib adalah Mazhab Syafii yang kebetulan menjadi rujukan mayoritas muslim Indonesia. Pandangan kritis beliau mengenai hukum pembagian harta warisan menurut adat di Minangkabau menjadi bahan klasik yang tidak pernah usang dibaca dan ditelaah sampai sekarang. Banyak ulama dan sultan di Nusantara dan Semenanjung Melayu meminta fatwa-fatwa keagamaan kepada Syekh Ahmad Khatib melalui surat-menyurat.

Melalui bimbingan dan pelajaran serta buku-bukunya yang ditulisnya Syekh Ahmad Khatib mendorong munculnya gerakan tajdid atau pembaharuan pemahaman Islam.  Murid-murid Syekh Ahmad Khatib yang berasal dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Semenanjung Melayu, setelah selesai belajar di Makkah, mereka pulang ke tanah air menjadi ulama dan mufti. Sejarah mencatat K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), pernah berguru kepada Syekh Ahmad Khatib di Makkah.      

Para ulama besar Minangkabau Sumatera Barat akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang menjadi murid langsung Syekh Ahmad Khatib di Makkah, antara lain: Syekh Dr. H. Abdul Karim Amrullah (ayah Prof. Dr. Hamka), Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Daud Rasjidi (ayah Buya Haji Mansur Daud Datuk Palimo Kayo), Syekh Dr. H. Abdullah Ahmad, Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Muhammad Thaib Umar, Syekh Sulaiman Ar Rasuli, Syekh Muhammad Djamil Djaho, Syekh Abdul Latif, Syekh Mustafa Padang Japang, Syekh Khatib Ali, Syekh Abbas Qadhi (ayah K.H. Siradjuddin Abbas) dan banyak lagi yang lain.

Syekh Ahmad Khatib menjadi “tempatan” pemuda-pemuda Minangkabau pergi merantau dan bermukim di Mekkah untuk memperdalam ilmu agama. Murid-murid Syekh Ahmad Khatib menjadi ulama pelopor perjuangan dalam menegakkan agama dan membela tanah air. Para murid dan kader Syekh Ahmad Khatib berjasa dalam gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau dan Indonesia. Salah satu di antaranya ialah Syekh Dr. H. Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul atau Inyiak DR, pendiri Sumatera Thawalib Padang Panjang dan penganjur pertama berdirinya cabang Muhammadiyah di Minangkabau.

Kesultanan Turki Ottoman di Istanbul memberi gelar tanda jasa Bey Tunis kepada Syekh Ahmad Khatib. Gelar tanda jasa tersebut diberikan sebagai pengakuan dan penghargaan kepada orang yang berjasa di bidang ilmu pengetahuan. Syekh Ahmad Khatib banyak menulis kitab (buku) agama mengenai Fiqih, Ushul Fiqih, Tasauf dan sebagainya berbahasa Melayu dan Arab.  Buku-bukunya beredar sampai ke Indonesia yang dahulu dikenal sebagai Hindia Belanda.

Spirit pemikiran Syekh Ahmad Khatib mengenai kemajuan beragama, pembaharuan paham keagamaan, dan perjuangan menentang penjajahan, meresap ke dalam hati, pikiran dan tindakan murid-muridnya yang tampil berjuang di tengah masyarakat. Syekh Ahmad Khatib seorang yang keras pendirian dalam melaksanakan hukum agama, dan sekaligus menentang hukum-hukum atau kebiasaan lain yang bertentangan dengan hukum Islam.

Salah satu segi menarik dari pendidikan Syekh Ahmad Khatib kepada murid-muridnya adalah menanamkan prinsip kemerdekaan berpikir dalam garis lurus akidah Islam berdasar Al Quran dan As Sunnah. Syekh Ahmad Khatib tidak mengajarkan sikap taklid buta dan fanatik kepada guru. Hal itu terlihat dari corak pemikiran fiqih dan wadah pergerakan murid-muridnya tidak hanya satu corak saja, tapi meliputi gerakan yang dikenal sebagai “Kaum Muda” dan “Kaum Tua” atau Kaum Modernis dan Kaum Tradisionalis/Konservatif dalam ukuran di masa itu.  Ulama-ulama Indonesia di zaman itu belajar dari banyak guru dan bersahabat satu sama lain walau dalam masalah fiqih sering berselisih pendapat.

Suatu ketika Syekh Ahmad Khatib diminta pendapatnya mengenai polemik pertentangan pendapat di antara ulama Indonesia di Jawa, di antara sesama murid beliau maupun antara murid beliau dengan ulama yang lain. Syekh Ahmad Khatib merespons dengan menulis surat terbuka yang merupakan jawaban dan fatwa atas masalah yang dipertentangkan itu.

Lebih kurang 4 bulan sebelum meninggal, Syekh Ahmad Khatib menulis manuskrip autobiografinya berjudul “Al-Qaulu at-Tahief  fii Tarjamati Tarikh Hayaati as-Syaikh Ahmad Khatib Abdul Latief al-Minangkabawiy al-Jawiy.” Risalah tersebut telah diterbitkan edisi bahasa Indonesianya dengan judul Otobiografi Syeikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi Dari Minangkabau Untuk Dunia Islam (2016).

Mengenai latar belakang penulisan autobiografinya, Syekh Ahmad Khatib mengemukakan, “Murid-muridku memintaku untuk menulis sejarah hidupku dan menjelaskan karya tulisku, maka aku tulislah kitab ini untuk menjelaskan hal itu agar mereka mengenal keadaanku, termasuk generasi sesudahku yang ingin mengetahui sejarah hidupku, terutama bagi kawan-kawan dari Indonesia dan lainnya.” 

Salah seorang putra beliau, Syekh Abdul Hamid Al Khatib, Duta Besar Arab Saudi di Pakistan dan Bangladesh, juga pernah menulis biografi Syekh Ahmad Khatib, diterbitkan di Damaskus tahun 1958.  

Sebuah ungkapan yang ditulis oleh Syekh Ahmad Khatib dalam autobiografinya, di mana dia menyebut dirinya pelayan para pelajar di Masjidil Haram, sebagai berikut, “Sesungguhnya kehidupan manusia adalah sejarah hidupnya dan setelah meninggal nanti, dia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di dunia. Maka beruntunglah orang-orang yang telah menghiasi hidupnya dengan hiasan yang baik dan mengisi umurnya dengan amal shaleh.”

Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi berpulang ke rahmatullah di Makkah Al Mukarramah pada bulan Jumadil Awal 1334 H bertepatan dengan 13 Maret 1916 M. Seabad telah berlalu sejak Syekh Ahmad Khatib pergi untuk selamanya memenuhi panggilan Al Khaliq, tetapi namanya di dunia tetap harum dan dikenang sebagai tokoh besar Minangkabau yang berkhidmat untuk Dunia Islam.

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat pada 1 Muharram 1446 Hijriah atau 7 Juli 2024 mengabadikan nama ulama besar ini pada Masjid Raya Provinsi menjadi Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi Sumatera Barat. Peresmian pemberian nama masjid dilakukan oleh Gubernur Mahyeldi Ansharullah, didampingi dua gubernur terdahulu yakni Gamawan Fauzi dan Irwan Prayitno. Peristiwa tersebut bernilai istimewa karena dihadiri langsung oleh keluarga besar cucu/cicit almarhum Syekh Ahmad Khatib dari Arab Saudi.

Masjid terbesar dan terindah yang sekarang menjadi kebanggaan dan landmark Sumatera Barat itu pernah dinobatkan sebagai salah satu dari 7 masjid dengan desain arsitektur terbaik di dunia.  Desain Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi Sumatera Barat yang unik dan tanpa kubah, dengan luas bangunan 18.000 meter persegi, merupakan karya arsitek Rizal Muslimin yang terpilih melalui sayembara. Penghargaan atas desain masjid tersebut diberikan oleh Abdullatif Al-Fozan Award For Mosque Architecture dalam kompetisi internasional di Madinah tahun 2021.

Foto Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi Sumatera Barat

Peresmian pemberian nama Masjid Raya Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi Sumatera Barat.

About Author