Refleksi Peringatan Dies Natalis Ke-57 UIN Imam Bonjol Padang oleh M. Fuad Nasar

Pada tanggal 29 November 2023 diperingati 57 tahun Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang. Sejarah mencatat, UIN Imam Bonjol yang saat ini dipimpin Rektor Prof. Dr. Hj. Martin Kustati, M.Pd, rektor perempuan pertama, bermula dari Fakultas Tarbiyah Cabang IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Padang dan penegerian tiga fakultas di bawah Yayasan Imam Bonjol yaitu Syariah, Ushuluddin dan Adab.

Tanggal bersejarah 29 November 1966/15 Sya’ban 1386 H, bertempat di Gedung Negara Tri Arga Bukittinggi diresmikan Institut Agama Islam Negeri al-Jami’ah al-Islamiyah al-Hukumiyah Imam Bonjol oleh Menteri Agama Prof. K.H. Saifuddin Zuhri dan mengangkat rektor yang pertama Prof. Dr. H. Mahmud Yunus. Sejarah IAIN Imam Bonjol Padang yang lahir 57 tahun silam tidak dapat melupakan dukungan dan jasa Gubernur Sumatera Barat Prof. Dr. H. Harun Zain selaku Ketua Umum Penegerian IAIN Imam Bonjol dan anggota panitia lainnya.

Rektor Pertama Prof. Dr. H. Mahmud Yunus pada upacara penegerian IAIN Imam Bonjol tanggal 29 November 1966 berpesan dalam pidatonya, “IAIN al-Jamiah Imam Bonjol ini bukan milik menteri, bukan milik gubernur, bukan milik si Polan dan si Polanah, melainkan adalah milik Allah Swt. Oleh sebab itu saya mengharapkan semoga lembaga pendidikan tinggi ini melahirkan manusia-manusia mukhlish yang berilmu pengetahuan, sehingga masyarakat Sumatera Barat ini dapat pulih kembali sebagai Serambi Mekah kata orang-orang dulu dan terpelihara dari tangan-tangan yang bukan mukhlish. Apalagi akhir-akhir ini masyarakat Sumatera Barat sudah kehilangan Inyiak-Inyiak dan ulama-ulama besarnya yang terkenal, sebab seorang demi seorang sudah berpulang ke rahmatullah, sedang pengganti sebagai penerusnya tak kunjung nampak dari angkatan sekarang”.

Dalam buku IAIN Imam Bonjol 1966- 2016: Tonggak Sejarah Kebangkitan Perguruan Tinggi Islam di Sumatera Barat disusun oleh sesepuh dan dokumentator sejarah IAIN Imam Banjol Padang Dr. Raichul Amar, M.Pd yang dibantu anggota tim penulis (Muhapril Musri, Nelmawarni, Faisal, Muhammad Ilham, Zulheldi, Saiful Yazan, Alfadli) dapat ditelusuri kembali latar belakang pembentukan lembaga pendidikan tinggi IAIN Imam Bonjol. Tonggak sejarahnya berawal dari keinginan masyarakat untuk memiliki sebuah perguruan tinggi Islam yang representatif dalam lingkungan masyarakat yang dulu dikenal sebagai gudangnya para ulama, para pendiri bangsa dan pelopor pembaharuan Islam di Indonesia.

Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri disingkat PTKIN merupakan kekhasan Indonesia, sebagai perpaduan keinginan umat dan pemerintah. Bahwa di samping satuan pendidikan umum dan perguruan tinggi umum di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau sekarang Kemendikbud Ristek, terdapat satuan pendidikan keagamaan dan perguruan tinggi keagamaan yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama di seluruh Indonesia.

Prof. A. Hasjmy dalam buku Mengapa Umat Islam Mempertahankan Pendidikan Agama Dalam Sistem Pendidikan Nasional (1979) mengungkapkan, “Sebagai penghargaan atas jasa-jasa kota gudeg selaku pusat pemerintahan RI dalam masa perjuangan fisik menentang penjajahan Belanda, ditetapkan Yogyakarta sebagai kota Universitas. Pada waktu itu di Yogyakarta ada dua Universitas Swasta, yaitu Universitas Islam Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Kepada Universitas Gadjah Mada pemerintah menawarkan untuk dinegerikan. Pengasuh Universitas Gadjah Mada menerima baik tawaran tersebut yang kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1950. Sedangkan tawaran yang sama kepada Universitas Islam Indonesia (UII) dapat diterima dengan syarat harus di bawah Departemen Agama. Akibatnya hanya satu Fakultas saja yang dapat dinegerikan yaitu Fakultas Agama.” tulis mantan Gubernur Daerah Istimewa Aceh (1959 – 1964) dan Rektor Pertama IAIN/UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh tersebut.

Kalau kita merunut perjalanan sejarah, pemerintah pertama kali mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1950. PTAIN diresmikan oleh Menteri Agama K.H.A. Wahid Hasjim. Ketua PTAIN Pertama diamanahkan kepada Prof. K.H.R. Moh. Adnan dan berikutnya Prof. Dr. Mukhtar Yahya. Dalam sejarahnya Prof K.H. Abdul Kahar Mudzakkir dan Prof. K.H. Anwar Musaddad turut mengawal proses lahirnya PTAIN di Yogyakarta.

PTAIN Yogyakarta tahun 1960 digabung dengan sekolah kedinasan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) Jakarta menjadi Institut Agama Islam Negeri Al-Jam’iah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah Yogyakarta disingkat IAIN. Peresmian IAIN dilakukan oleh Menteri Agama K.H. Wahib Wahab di Gedung Kepatihan Yogyakarta tanggal 24 Agustus 1960.

Para perintis, pendiri dan peletak dasar perguruan tinggi IAIN Yogyakarta dan cabangnya IAIN Jakarta, tiga di antaranya ialah tokoh ulama cendekia asal Minangkabau/Sumatera Barat yaitu Prof. Dr. Mukhtar Yahya (Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN di Yogyakarta), Prof. Dr. Bustami A. Gani (Dekan Fakultas Adab IAIN di Jakarta), Prof. Dr. Mahmud Yunus (Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN di Jakarta), dan Prof. T.M. Hasbi Ash Ashiddieqy (Dekan Fakultas Syariah IAIN di Yogyakarta).

Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri (1962 – 1967) mengembangkan Institut Agama Islam Negeri Al-Jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah menjadi 9 Institut Agama Islam Negeri. Menteri Agama memberi nama IAIN dengan nama tokoh-tokoh pahlawan terkenal di daerahnya masing-masing, yaitu: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Ampel Surabaya, IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, IAIN Alauddin Ujung Pandang (Makassar), IAIN Pangeran Antasari Banjarmasin, IAIN Imam Bonjol Padang, IAIN Raden Fatah Palembang, dan IAIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi. 

K.H. Saifuddin Zuhri menegaskan peran IAIN sebagai pusat pengajaran dan pendidikan tingkat tinggi bagi pemuda-pemuda Islam, tempat persemaian kader-kader muslim masa kini dan masa depan serta jalan pintas untuk mengejar ketinggalan umat Islam di bidang pendidikan tinggi. Menurutnya, IAIN menduduki fungsi strategis bukan saja di bidang pendidikan, tetapi juga di bidang ukhuwah islamiyah. Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri menginginkan agar ulama dari kalangan NU, Muhammadiyah, PSII, Perti dan lain-lain, duduk satu deretan menjadi dosen IAIN serta memiliki sense of belonging (merasa ikut memiliki).

Menteri Agama Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, menjabat mulai 1971 setelah periode Menteri Agama K.H.M. Dachlan, menegaskan tugas IAIN sama dengan perguruan tinggi lainnya dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi ialah pengajaran dan pendidikan, penelitian (riset) dan pengabdian kepada masyarakat. Mukti Ali mendorong pengembangan riset sosial dan riset agama di IAIN, serta penguatan “mental ilmu” di kalangan civitas akademica. Ia memelopori pengiriman tugas belajar dosen-dosen IAIN ke negara-negara Barat.  

Menteri Agama H.A. Mukti Ali (1971 – 1978) dan Munawir Sjadzali (1983 – 1993) dikenang kegigihan memperjuangkan kesetaraan kedudukan IAIN dengan Perguruan Tinggi Negeri lainnya. Menteri Agama setelah H.A. Mukti Ali yakni Letjen TNI Alamsjah Ratu Perwiranegara (1978 – 1983) juga memberi perhatian besar terhadap pengembangan IAIN di masanya, termasuk pembangunan infrastruktur fisik.

Pengembangan kualitas IAIN pada periode Menteri Agama Dr. H. Tarmizi Taher (1993 – 1998) dan Prof. Dr. M. Quraish Shihab (Maret – Mei 1998) semakin memperkokoh eksistensi pendidikan tinggi Islam dalam menjawab tantangan zaman. Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 1985 memberikan status, perlakuan, dan fasilitas kepada 14 IAIN di seluruh Indonesia sama dengan Perguruan Tinggi Umum Negeri di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Prof. Dr. H. Harun Nasution, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1973 – 1984) dalam wawancara Republika-Dialog Jumat edisi 5 Januari 1996, dua tahun sebelum wafat, menjawab pertanyaan: Kabarnya rencana perubahan IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN)  merupakan ide anda, bisa dijelaskan? Harun Nasution mengatakan, “Ide perubahan bermula dari Pak Tarmizi Taher beberapa bulan setelah menjabat Menag. Katanya, sudah tak saatnya lagi bila IAIN tetap dalam bentuknya selama ini, jadi perlu diubah menjadi universitas. Sebenarnya, dulu juga kita sudah memikirkan hal ini. Tapi waktu itu kita menghadapi satu ketentuan yang telah digariskan bahwa universitas hanya berada di bawah Depdikbud. Kalau di bawah departemen lain bentuknya hanya berupa institut. Tapi ternyata kemudian ada pemikiran tidak mesti demikian. Departemen lain pun bisa memiliki universitas. Akhirnya kita mengupayakan ide itu menjadi kenyataan.” paparnya.

“Prinsipnya kita berupaya untuk mencetak sarjana-sarjana agama yang tidak asing pada ilmu-ilmu umum. Karenanya, pada UIN nanti akan ada fakultas-fakultas umum selain fakultas-fakultas agama yang sudah ada selama ini. Dan ini bukan suatu hal yang mustahil kita lakukan. Sejarah membuktikan, sarjana-sarjana muslim di masa lampau mampu menguasai ilmu-ilmu agama sekaligus ilmu-ilmu umum, bahkan menguasai filsafat.”  ujar Harun Nasution. 

Dr. H. Tarmizi Taher, satu-satunya putra Minang sampai saat ini yang pernah menjabat sebagai Menteri Agama, menyatakan bila IAIN mampu menjadikan dirinya sebagai pusat keunggulan kajian-kajian Islam, maka IAIN tidak hanya merupakan perguruan tinggi yang bergengsi secara akademis (academically prestigious), tetapi juga bergengsi secara sosial (socially prestigious).  Jika IAIN bergengsi secara akedemis dan sosial, maka para alumninya tidak lagi merasa “rendah diri” berhadapan dengan sarjana-sarjana lain di luar IAIN.

Menteri Agama Kabinet Reformasi Pembangunan Prof. Drs. H.A. Malik Fadjar (1998 – 1999) melahirkan kebijakan visioner mengukuhkan  â€śfakultas cabang” IAIN menjadi STAIN di seluruh Indonesia. Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang pernah menjabat Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam (kini Ditjen Pendidikan Islam) itu sewaktu menjadi Menteri Pendidikan Nasional, mendorong dan ikut mengawal perubahan IAIN menjadi UIN. Perubahan menjadi UIN dipelopori IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2002) di masa Rektor Prof. Dr. Azyumardi Azra, CBE, dan menyusul UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2004) di masa Rektor Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah. Adapun IAIN Imam Bonjol Padang bertransformasi menjadi UIN Imam Bonjol Padang berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 35 Tahun 2017 di masa Rektor Prof. Dr. Eka Putra Wirman.

Kementerian Agama, di era setelah kepemimpinan Malik Fadjar pada permulaan Reformasi, dilanjutkan oleh Menteri Agama K.H.Muhammad Tholhah Hasan, Prof. Dr. Said Aqil Husin Al Munawar, Muhammad Maftuh Basyuni, Suryadharma Ali, Lukman Hakim Saifuddin, Jenderal (Purn) Fachrul Razi dan Yaqut Cholil Qoumas, secara berkelanjutan menghadirkan kebijakan afirmasi dan pengembangan perguruan tinggi keagamaan negeri untuk semua agama.  

Sampai akhir tahun 2023 terdapat 58 Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (UIN/IAIN/STAIN) di seluruh Indonesia dan satu Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) berstatus PTNBH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum). Peningkatan mutu akademik, tata kelola perguruan tinggi yang akuntabel (good governance university) dan program internasionalisasi menuju kampus berakreditasi unggul terus dilakukan oleh Kementerian Agama untuk seluruh PTKIN. Pada akhirnya patut disadari bahwa kampus adalah lingkungan ilmiah, tempat berilmu, tempat generasi muda dan calon-calon pemimpin bangsa belajar kepemimpinan, belajar memahami masyarakat, negara dan dunia dengan kacamata ilmu pengetahuan ilmiah dan etika. Kampus PTKIN pada hakikatnya merupakan kampus peradaban yang diamanahi misi untuk menyemai dan menyuburkan nilai-nilai keislaman yang moderat, keindonesiaan dan kemanusiaan.

Wallahu a’lam bisshawab.

                                                

About Author