Zakat Pilar Utama Filantropi Islam

Oleh M. Fuad Nasar
Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama di lingkungan Kemenag RI

Seorang tokoh bangsa Mr. Sjafruddin Prawiranegara dalam buku Aspirasi Islam dan Penyalurannya (1987) menjelaskan, menurut ajaran Islam ekonomi tidak boleh disusun secara sosialistis menurut wawasan Marxisme, tetapi juga tidak boleh secara Kapitalistis yang mengizinkan seseorang mencari dan memupuk kekayaan tanpa batas. Ekonomi dalam masyarakat Islam harus disusun menurut jalan tengah antara Sosialisme dan Kapitalisme. Hak milik perseorangan diakui dalam Islam, tetapi dengan ketentuan bahwa pada kekayaannya terdapat hak orang miskin.
Dalam hubungan itu analisa Sjafruddin tentang zakat menarik ditelaah dan gagasan pemikirannya relevan dengan situasi kontemporer. Ia mengemukakan perlunya zakat diatur dengan peraturan perundang-undangan. Zakat bertujuan supaya perbedaan materiil antara orang kaya dan orang miskin jangan terlalu mencolok. Negara dan masyarakat wajib mengusahakan jangan sampai ada orang miskin jadi mati kelaparan atau mati karena tidak bisa pergi ke dokter atau membeli obat karena tidak punya uang. Pendek kata, zakat maal adalah pajak yang harus dibayar oleh orang yang mampu menurut kemampuannya dan menurut keperluan masyarakat guna menghilangkan atau mengurangi kemiskinan, ujar Sjafruddin Prawiranegara.
Dalam tinjauan statistik, Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbanyak memiliki potensi zakat sebesar Rp 327 triliun dan baru terealisasi pengumpulannya secara nasional tahun 2023 sekitar Rp 32 triliun. Untuk itu telah disusun Peta Jalan Rencana Aksi dan Tahapan Pengembangan Pengelolaan Zakat Indonesia 2025 – 2045 dalam Peta Jalan Zakat Indonesia 2045 oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) bekerjasama dengan Kementerian Agama. Peta Jalan Zakat Indonesia yang diluncurkan pada 20 Desember 2024 memuat gambaran tentang apa yang telah dilakukan dan arah kebijakan ke depan oleh segenap entitas pemangku kepentingan perzakatan guna mencapai visi pengelolaan zakat 2045 yakni, “Era Keemasan Zakat Indonesia”.
Transformasi, inovasi dan adaptasi dalam pengelolaan zakat adalah suatu keniscayaan, namun harus mengacu pada tujuan pengelolaan zakat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 dan ketentuan syariah. Tujuan pengelolaan zakat menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 adalah: Pertama, meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan Kedua, meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.
Zakat adalah pilar utama filantropi Islam yang menempati posisi penting dan strategis dalam kehidupan umat dari masa ke masa. Zakat bersifat obligatory, bukan voluntary atau kedermawanan. Kewajiban berzakat bagi umat Islam yang memenuhi syarat wajib zakat tidak tergantung pada negara, tapi merupakan syariat yang masuk wilayah internum agama. Istilah “zakat” itu sendiri sebagai rukun Islam terdapat dalam Al-Quran dan tidak bisa digantikan. Dalam hukum agama yang tertuang dalam fiqih zakat, sumber-sumber harta wajib zakat berkembang sesuai dengan perkembangan ekonomi dan jenis penghasilan masyarakat. Sementara itu penerima zakat yang berhak telah ditentukan secara baku dalam ayat Al-Quran yaitu Fakir, Miskin, Amil, Mu’allaf, Riqab, Gharimin, Fi Sabilillah dan Ibnu Sabil (QS At-Taubah [9] : 60).
Umat Islam melalui para ahlinya perlu menentukan standar dan kriteria tiap mustahik zakat atau kalau perlu membuat interpretasi terbatas sesuai kondisi dan kemaslahatan, tapi tidak bisa menambah asnaf dari yang sudah ada. Program lembaga zakat dalam pendistribusian dan pendayagunaan dana umat memiliki beragam bentuk dan pola, dan semuanya harus masuk dalam kriteria delapan asnaf.
Undang-Undang Pengelolaan Zakat maupun Undang-Undang Wakaf berfungsi bukan sekadar mengatur tata kelola, tetapi sekaligus mengakselerasi pengelolaan zakat dan wakaf agar memberi manfaat optimal kepada umat. Secara substansial zakat bukan sekadar menyisihkan 2,5 persen dari harta dan hasil usaha sesuai prosentasenya untuk disalurkan kepada mustahik delapan asnaf. Zakat adalah rukun Islam yang mendeklarasikan bahwa harta mempunyai fungsi sosial. Dalam harta yang telah mencapai nisab (batas wajib zakat) terdapat hak orang lain yang wajib dikeluarkan dari harta (maal) dan hasil usaha (kasab). Harta kekayaan tidak seyogianya hanya beredar di antara orang-orang kaya saja agar tidak terjadi kemiskinan ekstrem di masyarakat.
Dalam buku Pengelolaan Zakat Yang Efektif: Konsep dan Praktik Di Beberapa Negara (Bank Indonesia, 2016) diungkapkan dari 56 negara anggota Islamic Development Bank (IDB), baru 11 negara yang memiliki peraturan atau perundang-undangan tersendiri tentang zakat dengan berbagai variasi kewenangan, lingkup dan institusi pendukungnya. Kesebelas negara dimaksud adalah Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Saudi Arabia, Kuwait, Yordania, Libya, Sudan, Bahrain, Pakistan, dan Bangladesh.
BAZNAS di tingkat pusat dibentuk sejak tahun 2001 dan mulai 2015 bertransformasi menjadi lembaga pemerintah nonstruktural bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Agama. Peran negara dalam menerbitkan legalitas organisasi pengelola zakat, perlindungan hukum dan memfasilitasi umat Islam dalam menunaikan kewajiban zakat bukan dalam arti memasuki wilayah privat kehidupan beragama. Substansi yang diatur, dilindungi dan difasilitasi oleh negara adalah dimensi publiknya. Kalau dana zakat, termasuk infak, sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya yang dikelola secara terlembaga tidak disalurkan sebagaimana mestinya atau diselewengkan oleh pengelolanya, maka dapat diproses secara hukum.
Dalam perspektif hubungan agama dan negara menyangkut masalah zakat ini, sedikitnya tiga pertanyaan mendasar pernah dibahas dalam sidang Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia VI tahun 2018 di Banjarmasin, yaitu:
Pertama, apakah Pemerintah (ulil amri) berkewajiban untuk menetapkan aturan yang mengikat bagi muzakki untuk membayar zakat?
Kedua, apakah boleh Pemerintah (ulil amri) melakukan pemotongan langsung gaji pegawai untuk dialokasikan sebagai zakat yang bersangkutan?
Ketiga, apakah kewenangan tersebut bersifat mutlak atau ada batasan-batasannya?
Menyangkut tiga pertanyaan di atas, Komisi Fatwa MUI menetapkan sebagai berikut:
Pertama, pemerintah (ulil amri) berkewajiban secara syar’i untuk menetapkan aturan yang mengikat bagi muzakki untuk membayar zakat.
Kedua, pemerintah (ulil amri) mempunyai kewenangan secara syar’i untuk memungut dan mengelola zakat, termasuk zakat aparatur negara.
Ketiga, negara dalam menjalankan kewenangan harus sejalan dengan prinsip syariah.
Keempat, jika sudah ada aturan terkait dengan pengelolaan zakat oleh negara, maka umat Islam wajib mematuhinya.
Kementerian Agama tidak mengelola dana zakat, infak dan sedekah, tetapi melakukan pembinaan dan pengawasan pengelolaan zakat yang dilaksanakan oleh BAZNAS dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) sesuai mandat perundang-undangan. Meski demikian, Kementerian Agama memiliki peran sentral dalam membangun kesadaran berzakat di tengah masyarakat dan mensinergikan peran antarlembaga dalam ekosistem perzakatan nasional.
Menurut K.H.M. Saleh Suaidy, tokoh pengusul pembentukan Kementerian Agama tahun 1946, dalam tulisan klasiknya mengenai perundang-undangan zakat, karena wajib zakat tak ada sanksi hukumnya oleh negara, maka terpenuhinya kewajiban zakat oleh para wajib zakat dipengaruhi oleh dua hal yaitu; Pertama, kepercayaan kepada Allah, dan Kedua, kepercayaan kepada amil yang akan mengumpulkan dan membagi-bagi zakat itu. Karena itu, hubungan pembayar zakat (muzakki) dengan organisasi pengelola zakat dan petugas zakat (amil) maupun hubungan penerima zakat yang berhak (mustahik) dengan amil dan lembaga dibangun dengan landasan kepercayaan atau trust.
Peran amil zakat sebagai ujung tombak pengelolaan zakat bukan sekadar mengamalkan pengetahuan dan kompetensinya. Amil haruslah memberikan hatinya untuk tugas pengelolaan zakat. Sisi humanis dari gerakan zakat tidak boleh diabaikan yaitu peduli dan memuliakan kaum mustad’afin serta orang-orang yang terpinggirkan dalam persaingan hidup. Amil zakat – menurut istilah Menteri Agama Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, MA – haruslah menjadi “sahabat spiritual umat”.
Amil zakat yang hebat adalah yang senantiasa dekat dengan persoalan-persoalan riil kemiskinan dan kemanusiaan serta berguru pada realitas. Saya membayangkan adakalanya amil zakat bekerja dalam keramaian dan ada waktunya amil bekerja dalam sunyi.
Pada tanggal 17 Januari 2025 BAZNAS genap 24 tahun melayani umat semenjak dibentuk pada 17 Januari 2001 berdasarkan Undang-Undang No 38 Tahun 1999. Saya bersyukur pernah menjadi sekrup kecil dalam mengawal perjalanan BAZNAS periode awal. Saya ingat ucapan Ketua Umum Pertama BAZNAS Drs. Achmad Subianto, MBA, yang sering kami dengar waktu itu sebagai peringatan agar jangan sembarangan menggunakan dana zakat kalau tidak sesuai peruntukannya bahwa amil zakat berisiko masuk neraka kecuali yang amanah dan takwa.
Semoga BAZNAS dan semua Lembaga Amil Zakat semakin sukses dalam kinerjanya, amanah dalam mengelola dana umat sesuai ketentuan syariahnya serta memenuhi harapan masyarakat dan pemerintah agar dana zakat yang dikelola secara terlembaga lebih berdampak terhadap penanggulangan kemiskinan.

Tulisan ini telah terbit lebih dulu dengan judul yang sama dalam Majalah Panji Masyarakat No 4/TH I/2025.

About Author